Minum Kopi, Bicara Politik: Kenapa Kafe Jadi “Markas Rahasia” Kaum Pemberontak (dan Kaum Gabut)? 😂

Minum Kopi, Bicara Politik: Kenapa Kafe Jadi “Markas Rahasia” Kaum Pemberontak (dan Kaum Gabut)? 😂

Siapa sangka, tempat nongkrong kita, yang biasanya dipenuhi aroma kopi pahit dan obrolan seputar drama Korea atau deadline tugas, punya sejarah kelam (atau cerah, tergantung sudut pandangmu) sebagai sarang gerakan sosial dan politik? Jauh sebelum ada Wi-Fi gratis dan latte art yang aesthetic, kafe adalah “Hotspot” revolusi, tempat di mana ide-ide besar diseduh barengan kopi. Yuk, kita bedah kenapa tempat ngopi ini lebih dari sekadar tempat gabut!


Kafe: Bukan Sekadar Jual Kopi, Tapi Jual Ide 🤯

 

Di Eropa abad ke-17 dan ke-18, saat kedai kopi mulai menjamur, orang-orang Inggris bahkan menjulukinya “Penny Universities” alias “Universitas Receh”. Kenapa? Karena hanya dengan harga secangkir kopi (atau se-penny), siapa pun—mulai dari filsuf, pedagang, sampai jurnalis kepo—bisa duduk bareng, baca koran, dan berdebat soal apa pun.

Beda dengan pub yang berisik dan penuh alkohol (yang bikin otak lemot), kafe menawarkan suasana yang lebih tenang dan netral. Di sinilah orang bisa berdiskusi politik secara serius tanpa harus mabuk. Bayangkan, bapak-bapak pendiri Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan Benjamin Franklin, saja suka nongkrong di kafe Paris untuk gosip soal kemerdekaan! Keren, kan? Kafe jadi ruang publik yang inklusif, tempat orang dari berbagai latar belakang bisa adu argumen dengan kepala dingin (atau setidaknya tidak mabuk).


Aroma Revolusi dari Secangkir Espresso ☕️

Peran ngopi ini mencapai puncaknya menjelang Revolusi Prancis. Kafe-kafe di Paris, seperti Café Procope (yang masih ada sampai sekarang, lho!), bukan cuma tempat ngopi, tapi juga panggung dadakan untuk para orator dan ruang rapat rahasia kaum revolusioner. Di sanalah ide-ide tentang liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan) dimatangkan sebelum akhirnya “meledak” jadi revolusi. Jean-Paul Marat dan Maximilien Robespierre—tokoh-tokoh kunci Revolusi Prancis—adalah pelanggan setia kafe. Mereka benar-benar mengubah dunia, bermodal kafe sebagai markas dan kopi sebagai bahan bakar otak.

Di Indonesia sendiri, meski istilah kafe modern mungkin baru nge-hits belakangan, tradisi warung kopi sudah lama jadi pusat diskursus politik dan sosial. Coba lihat di Aceh atau kota-kota lain, warung kopi sering jadi tempat kongko para aktivis dan mahasiswa, tempat “obrolan berat” tentang demokrasi dan keadilan dipindahkan dari ruang seminar yang tegang ke suasana yang lebih cair dan santai. Buktinya, di masa krisis politik dan ekonomi Indonesia (sekitar 1998-2001), warung kopi jadi oase untuk menyalurkan unek-unek dan kritisisme tanpa tekanan.


Kafe Modern: Nongkrong Rasa Protes 📢

Lalu, bagaimana dengan kafe masa kini? Meskipun sekarang kafe lebih didominasi influencer atau kaum hedon yang cuma foto OOTD dan kerja di laptop, semangatnya tetap ada. Kafe sering jadi lokasi pertemuan aktivis untuk merencanakan aksi, atau https://zeytincafemenu.com/ bahkan jadi lokasi “demonstrasi mini” dalam bentuk diskusi publik atau bedah buku yang kritis. Ini membuktikan bahwa kafe—baik tradisional maupun modern—tetap mempertahankan peran esensialnya: menyediakan ruang bebas bagi komunikasi sosial dan demokrasi.

Jadi, kalau kamu lagi ngopi sambil scroll media sosial, ingat-ingatlah, kafe tempatmu duduk itu adalah keturunan langsung dari tempat di mana revolusi-revolusi besar dirancang! Anggap saja secangkir latte yang kamu pegang adalah amunisi intelektualmu untuk mengubah dunia (atau setidaknya, mengubah status WhatsApp-mu jadi lebih kritis). Selamat ngopi dan berdiskusi! 🤣

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *